Narasi 1 Tahun Genosida di Gaza


Oleh : Bachtiar Nasir

“Setahun sudah bumi Gaza terjaga dalam kelam, luka menganga di atas tanah yang basah oleh darah dan air mata. Genap setahun, namun duka tak kunjung surut. Tangisan anak-anak yang kehilangan orang tua, suara rintih yang terjebak di antara puing-puing kehancuran, dan harapan yang terbang tinggi—direnggut paksa oleh kebisuan dunia.
Satu tahun telah berlalu, namun derita seakan kekal, mengakar pada setiap reruntuhan dan di setiap jiwa yang tersisa. Genosida ini bukan sekadar hitungan hari atau jumlah nyawa, melainkan upaya terencana untuk menghapus sebuah bangsa, mengikis masa depan, dan mematikan mimpi-mimpi anak-anak yang tak berdosa. Setiap detik penderitaan mereka adalah jeritan keadilan yang menantang kemanusiaan.

Bagaimana mungkin luka sepanjang ini bisa tertutupi oleh waktu? Bagaimana mungkin kebenaran dikalahkan oleh kekuatan? Setiap hening dari dunia adalah restu atas kebiadaban, dan setiap diam adalah bukti hilangnya nurani. Tapi selama keadilan masih ada di hati manusia, tak ada genosida yang benar-benar mampu mematikan perjuangan.
Dalam setahun penderitaan yang tak terperi, Gaza telah mengajarkan kita bahwa kehancuran bisa menimpa tubuh, tapi tidak pada keteguhan jiwa. Dan selama cahaya keyakinan masih menyala, harapan takkan pernah mati di antara puing-puing dan reruntuhan.”

“Jika Kita adalah penduduk Gaza, mungkin setiap hari hidup kita akan menjadi perhitungan yang tak pasti—apakah Kita akan hidup esok hari atau apakah keluarga Kita akan selamat. Mungkin setiap langkah akan terasa berat karena Kita kehilangan segalanya dalam sekejap. Rumah kit bisa jadi tak lebih dari bayang-bayang masa lalu, dan masa depan kita seakan terkubur dalam reruntuhan mimpi yang tak pernah terwujud.
Kita akan hidup di antara suara-suara bom yang mengguncang bumi tempat kita berdiri, sementara dunia di luar sana melanjutkan rutinitasnya, tak terganggu. Kita akan menatap langit yang tak lagi biru, tetapi dipenuhi asap dan nyala api. Hanya ada doa-doa yang Kita kirimkan dengan harapan ada yang mendengar—bahwa ada tangan-tangan kasih yang akan mengulurkan bantuan dan keadilan yang akan ditegakkan.
Tapi mungkin yang paling menyakitkan adalah perasaan bahwa dunia tak cukup peduli. Bahwa penderitaan kami hanya menjadi berita yang berlalu begitu saja. Kita akan bertanya, apa salah kami? Mengapa kami dihukum untuk hidup dalam ketakutan, tanpa hak untuk merasakan kedamaian?

Seandainya Kita adalah penduduk Gaza, Kita mungkin akan belajar untuk menggenggam erat sisa-sisa harapan di tengah kehancuran. Kita akan tahu bahwa meski tubuh kita lelah, jiwa Kita akan tetap melawan. Kita akan merasakan setiap kehilangan sebagai luka yang tak tersembuhkan, tetapi juga sebagai api yang terus menyala, memperjuangkan hidup dan martabat kami.

Dan di setiap malam yang sunyi, Kita mungkin akan bertanya-tanya—berapa lama lagi dunia akan tetap diam? Berapa lama lagi kami harus bertahan tanpa kepastian akan masa depan? Dalam kegelapan itu, mungkin Kita akan berharap, bahwa suatu hari nanti, keadilan akan datang menghampiri kami.”

“Ketika genosida di Gaza genap berusia satu tahun, aku terhenyak dalam diam dan bertanya pada diriku sendiri—apa yang sudah kulakukan? Adakah langkah kecil yang kuambil untuk membantu, ataukah aku justru tenggelam dalam rutinitas tanpa memedulikan jeritan yang datang dari kejauhan? Betapa mudahnya aku teralihkan oleh kenyamanan harianku, sementara di sisi lain dunia, sebuah bangsa dihancurkan secara sistematis.

Dalam setiap kejadian di Gaza, terungkap wajah kemanusiaan kita, dan sayangnya, wajah itu sering kali ditutupi oleh apatisme. Aku menyadari, bahwa aku terlalu sering menunggu orang lain untuk bertindak, berharap dunia akan berubah tanpa kontribusiku. Aku mungkin telah berteriak di media sosial, atau sesekali merasa marah, tapi apakah itu cukup? Apakah amarahku melahirkan tindakan nyata, ataukah itu hanyalah kilas perasaan yang hilang seiring dengan kesibukan pribadi?

Genap satu tahun genosida di Gaza, dan aku bertanya pada diriku sendiri—berapa lama lagi aku akan membiarkan rasa tidak berdaya ini menguasai diriku? Berapa lama lagi aku akan berlindung di balik alasan, menunggu dunia untuk berubah, sementara aku belum melakukan apapun yang berarti?
Ini adalah otokritik, untuk menampar kesadaran diri bahwa dalam diamku, aku turut membiarkan ketidakadilan terjadi. Bahwa genosida ini bukan hanya tanggung jawab mereka yang melakukan kekerasan, tetapi juga mereka yang memilih untuk diam. Dan aku, yang hidup dalam kenyamanan, harus bangkit, memperbaiki, dan memastikan bahwa aku adalah bagian dari solusi, bukan hanya saksi dari tragedi.

Hari ini, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa setiap langkah kecil untuk Palestina, setiap doa, setiap tindakan nyata—adalah wujud dari kemanusiaanku. Tidak ada lagi waktu untuk bersikap acuh. Dunia mungkin besar, tapi keadilan dimulai dari hati setiap insan. Jika aku tidak bertindak sekarang, kapan lagi?”

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *